Telah banyak penyimpangan yang dilakukan media dalam menjalankan fungsinya, yang utamanya adalah untuk mengedukasi , menghibur dan memberikan informasi. Dalam mengemas informasi, hiburan, dan edukasi yang ingin disampaikan, media, baik secara sengaja maupun tidak, seringkali kurang memperhatikan “kerapihan” (dalam berbagai aspek) dan juga kurang mempertahankan idealismenya. Sehingga secara tidak langsung akan berdampak pada kerusakan nilai-nilai social dan public.
Komersialitas dan kebutuhan pasar adalah alasan atau alibi utamanya dan membuat media menjadi semakin gencar menebarkan faktor-faktor perusak (yang harus diakui, kenyataannya sangat diminati pasar) dalam setiap inti dari informasi, hiburan maupun edukasi yang ingin disampaikannya. Pada praktek media dalam system komunikasi Indonesia, kita bisa menarik banyak contoh, seperti penggunaan bahasa kurang baik yang sangat tidak asertif dan edukatif, penonjolan unsur sarkasme, kebohongan public, penyebaran nilai-nilai pornografi maupun pornoaksi, dll.
Dalam makalah ini, saya akan membahas tentang sebuah bias perspektif tentang wanita yang seringkali (bukan hanya seringkali, bahkan selalu terjadi) dalam media-media khusus pria dewasa, terutama yang akan dibahas disini adalah majalah pria, seperti For Him Magazine (FHM), POPULAR, GLAMOUR,dll, yang dimana didalam menjalankan fungsinya, media-media ini sangat kuat dalam hal penyebaran nilai-nilai pornografi dan pornoaksi, bahkan di kalangan yang dimana nilai-nilai ini tidak seharusnya terekpos,mis: mahasiswa.
1. Media berkuasa dalam konstruksi makna seksualitas dan perempuan
2. Penyimpangan fungsi dan peran perempuan dalam sexualitas (penambah gairah pria)
3. Penyimpangan fungsi dan peran perempuan dalam industry (komersialisasi)
4. Dekonstruksi perspektif tentang normalisasi wanita
5. Lemahnya perempuan dibanding laki-laki dalam dimensi hubungan seksualitas
6. Eksistensi perempuan muda dalam kancah pornografi
Michel Faucoult dalam History of Sexuality-nya, mengatakan bahwa beragam tubuh pengetahuan modern tentang seksualitas (beragam “pengetahuan” tentang seksualitas, termasuk psikoanalisis) sangat dipengaruhi oleh struktur kuasa masyarakat modern. Penguasa dalam hal ini bukan hanya Presiden, kaum elite, jendral, pemimpin partai, ataupun tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Penguasa bisa juga mengacu kepada suatu hal yang berbentuk strategis. Saya menarik media sebagai suatu penguasa dalam kehidupan masyarakat Indonesia modern yang dimana, melalui strategi-strategi bisnisnya, media telah mengekspos public/masyarakat dengan sajian-sajian mereka setiap harinya.
1. FHM edisi September 2009
2. Glamor edisi Agustus 2009
3. Popular edisi September 2009
4. OKE edisi Agustus 2009
Dari majalah-majalah yang saya teliti tersebut, ada beberapa kejahatan-kejahatan yang dilakukan media, dalam memaknai identitas perempuan, antara lain:
B. Penyimpangan fungsi dan peran perempuan dalam sexualitas (penambah gairah pria).
Perempuan direpresentasikan melalui fungsinya yang adalah sebagai pembangkit gairah dan nafsu, objek fantasi bagi pria. Wanita di gambarkan sebagai sosok yang tidak punya harga diri dan mau saja dijadikan bahan display, layaknya barang dagangan. Dalam majalah-majalah khusus pria, hal ini dapat dibuktikan melalui ekspos gambar-gambar syur yang tidak pada tempatnya. Banyak sekali segmen atau artikel yang tidak membahas seksualitas, namun memajang gambar-gambar yang merangsang seksualitas. Jelas sekali bahwa gambar dalam artikel tidak merepresentasikan ini artikel (padahal sudah seharusnya media menampilkan figure yang berkorelasi dengan isi). Dari beberapa majalah yang saya teliti, contohnya antara lain: Rubrik Sneak Peak (FHM)-berisi pengakuan konyol yang dikirim oleh pembaca wanita- menampilkan gambar perempuan dengan busana “two pieces”, dengan pose seksi menantang, padahal isi pengakuannya tidak ada korelasinya (tidak “berbahaya” sama sekali). Contoh lainnya adalah: Rubrik Flash (Glamor)-berisi gossip-gosip artis-artis mancanegara- yang menampilkan foto-foto “two pieces” artis bersangkutan, padahal konteks gosipnya sama sekali tidak menyingung seksualitas.
C. Penyimpangan fungsi dan peran perempuan dalam industry (komersialisasi).
Perempuan direpresentasikan melalui fungsi komersialnya secara visual. Dalam peran komersialnya, wanita dijadikan oleh media sebagai PSK spesialis mata. Sensualitas, seksualitas, dan overexpose tubuh dijadikan ajang pamer “exhibitionist”. Media menjual “PSK spesialis mata”, dan pria membelinya. Point of sales terletak pada : Sensualitas perempuan. Dalam majalah-majalah yang saya teliti, komersialisasi perempuan terlihat pada cover dan pameran foto-foto (hasil pemotretan) “two pieces” para modelnya, dan ini saya temukan dalam semua majalah diatas.
D. Dekonstruksi perspektif tentang normalisasi wanita.
Majalah-majalah pria membentuk pandangan masyarakat social, pria terutama, tentang bagaimana seharusnya wanita (secara bentukan biologis). Wanita yang normal dan “pantas” direpresentasikan dengan bentuk kaki yang jenjang, kulit yang mulus, rambut yang panjang, badan yang ramping, pinggang yang berlekuk dalam, ketiak yang bersih, payudara yang berisi dan padat, dan segudang persyaratan lainnya. Seolah menampik kualitas perempuan dari segi prestasi, kepribadian (bahkan secara general digambarkan dalam majalah-majalah tersbut bahwa semakin “nakal”, semakin “oke”), akademis, spiritual, dan lain-lainnya. Dari majalah-majalah yang saya sebutkan di atas, saya menemukan kecenderungan ini dalam: Girl Next Door Contest (FHM)- sebuah kontes pemilihan perempuan seksi yang diadakan FHM, dan artikel “10 artis terseksi dan payudara terindah” (Glamor). Selain itu, foto-foto para model atau artis yang menunjukan keindahan tubuh mereka, juga adalah suatu contoh konkret yang dinilai sebagai representasi “seksi”-nya seorang perempuan.
E. Lemahnya perempuan dibanding laki-laki dalam dimensi hubungan seksualitas.
Kesetaraan gender yang ada dewasa ini sebenarnya semakin membuat wanita terlihat memang lemah dan berada dibawah subordinat hegemoni lelaki. Berkaitan dengan pekerjaan model-model tersebut sebagai “PSK visual” , mereka diposisikan sebagai yang “menjual” dan yang “dibeli”. Jika dilihat dari dimensi majikan-bawahan, maka pastilah perempuan berada di posisi “bawahan”. Dalam teori ekonomi Marxis, feminis Marxis percaya bahwa pekerjaan perempuan membentuk pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga sifat-sifat alamiah perempuan. Mereka juga percaya bahwa kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan yang eksploitatif (majikan mempunyai kekuasaan yang lebih besar, mengkoersi pekerja untuk bekerja lebih keras) dan hubungan pertukaran (bekerja untuk upah, hubungan yang diperjualbelikan). Maka dari itu, jika pekerjaan perempuan sebagai “PSK visual” itu kemudian dikaitkan dengan teori Marxis, maka mantaplah sudah kelemahan posisi perempuan dibanding laki-laki dalam hal seksualitas.
F. Eksistensi perempuan muda dalam kancah pornografi.
Majalah-majalah yang saya sebutkan diatas adalah majalah dengan pria dewasa sebagai segmentasinya. Namun, entah mengapa, eksistensi perempuan dalam seksualitas sepertinya sudah harus ditunjukan sedari mereka muda (yang sebenarnya secara normative belum layak untuk itu). Bahkan sekarang, justru perempuan muda setingkat sekolah menengah sampai kuliah lah yang selalu ditawarkan media. “Aura kemudaan memang selalu menjadi apa yang dicari-cari pria..”(FHM-09/09) Dalam majalah-majalah yang saya teliti tersebut, saya menemukan contohnya pada: rubrik FHM Student-yang mewawancari mahasiswi-mahasiswi perkotaan yang cantik dan seksi untuk ditanya perihal kegiatan seks yang mereka alami, lakukan, atau inginkan. Contoh berikutnya adalah cover POPULAR (artis muda inisial SS) yang masih berkuliah dan belum berstatus menikah-ia diwawancara seputar kehidupan seksnya. Selain itu, ada juga contoh lain dari rubric Model story (OKE)-pameran model-model muda dengan umur sekitar 21-23 lengkap beserta data diri dan kontak mereka (kontak tertutup).
KESIMPULAN
pembahasan yang menarik mbak...tapi bahasanya bahasa yang digunakan membingungkan.
ReplyDelete