What's inside my head...

You were born an original. Don't die a copy.
-- John Mason

About Me

My photo
This one is an old blog of mine that i wont ever touch anymore. Please kindly visit my new blog: stashionery.wordpress.com thx all

Monday, October 12, 2009

Analisa Perspektif Budaya - Minahasa


Suku Bangsa Minahasa, Sulawesi Utara dan Komunikasi Lintas Budaya

Propinsi Sulawesi Utara, sebagai bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah wilayah pemukiman asal dari empat suku bangsa asli yakni orang Talaud, orang Sangihe, orang Mongondow, dan orang Minahasa. Keempat suku bangsa asli Sulawesi Utara ini masing-masing memiliki kebudayaannya sendiri jauh sebelum mereka memeluk agama-agama tertentu yang dibawa masuk dari luar. Orang Mongondow sekarang ini mayoritasnya adalah sebagai penganut Islam, sementara ketiga suku bangsa lain sebagian besar sebagai pemeluk agama Kristen.
Sejalan dengan perkembangan sejarah, masuklah sejumlah besar suku-suku Nusantara ke Sulawesi Utara. Ada yang mulanya langsung datang sebagai bagian aktif dari kontak-kontak ekonomi, agama, budaya, dan politik, ada pula yang masuk sebagai bagian interaksi antara bangsa-bangsa dari daratan Eropa dengan suku-suku bangsa Nusantara lainnya. Di samping itu, masuk pula beberapa bangsa Asia seperti orang Arab, India, Cina, dan Jepang.
Sejak awal persentuhan budaya antara Sulawesi Utara dengan pihak luar, tanah Minahasa sudah menjadi arena kontak budaya yang semakin lama semakin intensif. Kehadiran bangsa-bangsa asing (Barat dan Asia) yang memilih Minahasa sebagai pancangan kaki menyebabkan daerah itu tumbuh menjadi suatu pusat pertumbuhan kebudayaan yang baru. Apalagi dengan dipilihnya Manado sebagai pusat pemerintahan sejak masa awal kolonial menjejakkan kakinya di Sulawesi Utara. Peranan Minahasa (dengan Manado sebagai kota pusat pemerintahan Sulawesi Utara, Gorontalo, hingga Sulawesi Tengah) menjadi semakin besar.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa jauh sebelum masuknya pengaruh Barat, tata hubungan sosial di Sulawesi Utara sudah berciri nasional. Dan dengan masuknya bangsa-bangsa Barat dan Asia tersebut di atas, menyebabkan kebudayaan dan masyarakat di Sulawesi Utara berciri internasional.
Dalam hal ini dapat kita lihat dengan jelas, bahwa sejak zaman dulu, masyarakat Minahasa sudah tidak asing lagi dengan budaya luar, dan komunikasi antar budaya juga sudah sering dilaksanakan. Masyarakat Minahasa adalah bangsa yang memiliki pikiran yang terbuka dan individualis yang memungkinkannya untuk berkomunikasi lintas budaya dengan cukup mudah.





Stereotipe  Suku Bangsa Minahasa

Jika kita berbicara mengenai komunikasi lintas budaya, maka persepsi sangat terkait di dalamnya. Budaya mempengaruhi persepsi , sebaliknya persepsi juga mempengaruhi budaya, mempengaruhi bagaimana suatu budaya berkomunikasi dengan budaya lain. Namun, pastilah persepsi manusia tidak selamanya benar. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan atau kekeliruan persepsi, salah satunya adalah STEREOTIPE.
Stereotipe adalah mengeneralisasikan orang–orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Stereotipe dalam budaya maksudnya, penggeneralisasian induvidu-individu berdasarkan sifat yang secara umum terdapat dalam budaya atau suku bangsa dari mana mereka berasal.
Masing-masing suku bangsa di Indonesia pasti mendapatkan stereotip dari bangsa-bangsa lain, begitu juga dengan suku Minahasa. Berikut saya kemukakan beberapa label yang ditempelkan kepada masyarakat suku bangsa Minahasa, yang saya dapatkan dari “discussion board” di facebook dan juga wawancara langsung dengan kerabat non Minahasa, dimana saya langsung memberikan opini pembanding dari hasil wawancara dengan kerabat (kakak ipar) saya yang memberikan pandangan dari sudut pandang seorang Minahasa:
1.     Opini umum: “Orang Minahasa punya rasa persatuan dan persaudaraan sering tidak kokoh. Bahkan banyak orang Minahasa menyusahkan orang Minahasa sendiri yang ingin maju dalam karir. Lebih parahnya lagi orang Minahasa sering menjatuhkan sesama orang Minahasa sendiri karena mereka tidak suka melihat sesamaa orang Minahasa yang lebih maju atau sama-sama maju.”

Orang Minahasa: “Pandangan tersebut bisa jadi benar, bisa juga tidak. Benar jika dikaitkan dengan eksistensi beberapa clan, atau rukun keluarga Minahasa yang terkenal berkelas atas dan individu-individu dalam rukun tersebut menduduki banyak jabatan penting dan tinggi (eksekutif), baik dalam lingkup kerja pemerintahan, yang kebanyakan berdomisili di Kota Menado. Tapi jika melihat daerah-daerah tingkat kecamatan sampai desa, solidaritas mereka sangat kuat. Faktor “kesetaraan tingkat ekonomi dan strata social” menjadi faktor utama solidaritas ini.”

2.     Opini umum: “Orang Minahasa tidak berjiwa ekspansionis di mana pada saat satu orang Minahasa maju dalam berbagai bidang dia tidak memiliki rasa bahwa dia akan menaklukan atau menguasai satu wilayah atau daerah atau bahkan dunia. Bandingkan dengan suku/etnis lain yang dari Jawa dan Sumatera, ketika ada orang mereka yang maju mereka bisa membangun semacam koloni kecil yang terdiri dari atas orang-orang dari kalangan etnis/suku mereka sendiri. Apalagi jika terhadap sesame Minahasa di daerah perantauan.”

Orang Minahasa: “Ini sangat salah, sangat terbalik. Justru orang Minahasa sangat suka berkoloni, mengekspansi rukun keluarganya dimanapun mereka berada. Buktinya, di setiap daerah di Indonesia masing-masing pasti terdapat perkumpulan Kawanua (sebutan untuk orang Manado). Di Jakarta, banyak sekali perkumpulan kawanua, baik yang mengatasnamakan daerah Menado secara keseluruhan (contoh KKK-Kerukunan Keluarga Kawanua), sampai yang mengatasnamakan daerah tingkat desa, misalnya perkumpulan kawanua “Amongena”, perkumpulan kawanua “Noongan” –Amongena dan Noongan adalah contoh nama desa di Minahasa.”

3.     Opini umum: ‘Orang Minahasa saat ini cenderung tidak memiliki sifat melawan arus. Banyak orang Minahasa masih punya sifat berkompromi atau ikut-ikutan dengan orang lain atau satu hal demi kepopuleran semata walaupun itu belum tentu baik.

Orang Minahasa: “Ini juga sangat terbalik dari kenyataan. Orang Minahasa adalah orang yang terkenal selalu melawan arus, dan memang suka melawan arus, terutama sejak PERMESTA (baca: Perjuangan Semesta, dimana masyarakat Sulawesi Utara pada tahu 1957-1959 berjuang untuk memerdekakan diri dari NKRI), masyarakat Minahasa selalu dicap menjadi pemberontak. Itu sebabnya dalam beberapa karir dan posisi jabatan khususnya di pemerintahan pusat dan militer orang Minahasa sering di halang-halangi.

4.     Opini umum: “Orang Minahasa menang nama doank, senang dengan segala sesuatu yang bersifat hura-hura dan pemborosan. Pria maupun wanita Minahasa selalu dilabelkan sebagai tukang pesta.”

Orang Minahasa: “Ini sangat benar. Mungkin faktor terbesarnya adalah karena pengaruh didikan Belanda yang sangat kental di masyarakat Minahasa.”

5.     Opini umum: “Wanita-wanita Minahasa senang tampil cantik, berdandan, dan cenderung berani menunjukan aurat.”

Orang Minahasa: “Pendapat ini juga tidak salah. Alasannya juga sama seperti tadi, faktor didikan Belanda dulu.”

6.     Opini umum: “Orang Minahasa adalah pemakan segala macam binatang.”

Orang Minahasa: “Ini sangat tepat. Makanan-makanan khas Menado memang didominasi oeh binatang-binatang aneh yang tak sewajarnya dimakan budaya lain, seperti anjing, kucing, babi, babi hutan, kelelawar, tikus, angsa, bekicot, ular, dll. Kabupaten Minahasa adalah daerah yang sangat dingin, jadi wajarlah jika orang Minahasa banyak yang mencari makan dengan berburu binatang-binatang yang bagus untuk menghangatkan suhu tubuh.”
 



Analisa Stereotipe Masyarakat Minahasa

Dari studi banding di atas, antara pandangan umum dengan pandangan dari orang Minahasa sendiri, kita dapat melihat ada beberapa kesesuaian maupun ketidak kesesuaian antara keduanya. Namun yang pasti, benar atau tidak pandangan umum tersebut, pastilah ada alasannya dan dapat dianalisa.

1.      Mengenai solidaritas masyarakat Minahasa yang rendah.
Memang orang minahasa memiliki watak yang keras dan individualistis, dan ini merupakan bentukan kultur yang melahirkan mereka, yang mana sangat menghargai perbedaan antar individu. Namun, gejala 'baku cungkel' sebenarnya tidak identik apalagi endemik pada rumpun Minahasa. Gejala ini bukanlah merupakan warisan dari kebudayaan kita. Banyak masyarakat Minahasa yang menganalisa bahwa gejala ini mulai terlihat justru pasca PERMESTA dimana elit politik dan militer local dari Sulawesi Utara mencari jalan selamat sendiri.  Kebiasaan buruk-bukan budaya-ini mungkin saja dipelihara oleh para pejuang-pejuang PERMESTA hingga turun temurun dalam clan-nya (kalangan menengah ke atas, seperti yang dikemukakan narasumber), hingga menimbulkan kesan seperti itu.
2.      Mengenai tidak adanya jiwa ekspansionis.

Dari studi banding di atas, dapat kita pastikan pandangan umum tersebut salah, karena nyatanya rukun keluarga Minahasa tersebar dan eksis di semua daerah di Indonesia. Namun apa yang melatar belakangi pandangan tersebut??

Kita dapat perhatikan realita di Indonesia adalah begini: Kalau satu orang Padang membuka usaha konfeksi di pasar, maka semua tempat penjahitan di pasar itu akan didominasi oleh orang Padang. Kalau satu orang Batak membuka satu kantor pengacara atau menjadi praktisi hukum di satu lembaga maka semua pegawai dikantor pengacara dan lembaga teresbut akan didominan oleh Batak. Kalau orang Jawa atau Sunda menguasai lembaga pemerintahan maka kita sudah akan tahu siapa yang akan menjadi dirjend, kabag, deputi, kepala biro dll. Kalau satu orang Cina membuka satu bisnis di satu daerah maka kita tahu siapa yang akan memegang urat nadi perekonomian daerah tersebut. Ketika etnis-etnis tersebut berkuasa di tempat. Orang Minahasa akan sulit berkarir di tempat mereka kecuali kalau jika berjuang luar biasa. Dan sepertinya susah untuk mengharapkan mereka (beda budaya) saling membantu untuk maju dalam karir, sama seperti halnya kalau dalam seleksi calon pelamar kerja, seringkali orang-orang yang se suku lebih dulu diprioritaskan. Itulah realita yang terjadi di Indonesia. Kenyataan di Indonesia mayoritas etnis-etnis Indonesia kebanyakan hanya memikirkan golongan mereka sendiri. Sementara, ekpansionis yang dilakukan oleh masyarakat Minahasa di daerah perantauan, hanyalah berbentuk organisasi tertutup atau kerukunan keluarga (yang sekalipun dalam skala besar, tetap saja akan bersifat tertutup), bukan berbentuk industry yang “terlihat” oleh masyarakat “umum”. Mungkin itulah penyebab mengapa orang Minahasa sering/suka tidak terlihat menonjol di kalangan orang lain.

3.      Mengenai sikap “ikut arus”

Ini adalah suatu perdebatan yang cukup pelik, karena sebenarnya ikut arus dan melawan arus tidak diwariskan dari budaya, sehingga sifatnya sangat relative di setiap individu. Yang jelas, secara budaya, masyarakat Minahasa memang terlahir keras, individualis, dan menghargai perbedaan. Ditambah pengaruh didikan Belanda, membuat mereka menjadi karakter yang berpikiran terbuka. Kebetulan pada zaman Belanda, Minahasa bisa dikatakan sebagai anak emas Belanda (bahkan hampir menjadi propinsi kesekian dari Belanda), sehingga akses kepada pendidikan dan kapitalisme, sangat terbuka bagi mereka. Pikiran terbuka ditambah watak yang keras dan jiwa pemberontak, bukan tidak mungkin pada akhirnya berujung pada “pemberontakan nilai dalam etnis sendiri” yang jika dilihat dari pandangan yang sebaliknya, itu sering dianggap sebagai “ikut arus” dominan masyarakat umum.

4.      Suka hura-hura dan pesta

Sepertinya memang benar, faktor terbesar mengapa karakter orang Minahasa seperti itu adalah karena didikan Belanda. Orang Minahasa memang selalu bersuka ria, mereka suka minum-minuman keras khas Sulawesi Utara (seperti Saguer, cap Tikus, kasegaran, sopi, dll), mereka suka pesta, mereka penggila dansa. Sekalipun ini tidak berlaku bagi semua secara rata, namun perlu diakui bahwa karakter sentral memang seperti itu. Contohnya: bahkan dalam rangkaian upacara/acara kedukaan (persemaiaman) keluarga Menado, suasana sukacita senantiasa terasa. Selain ibadah (kebaktian) keluarga almarhum tidak pernah lupa untuk menyajikan makanan besar (bisa berupa potong babi ternak, atau hewan lain), menyertakan permainan-permainan seru dalam rankaian acara, nyanyi-nyanyi, berpesta, diakhiri dengan main kartu, sambil minum sopi stau cap tikus sampai pagi.

5.      Wanita yang suka bersolek

Selain faktor didikan Belanda, faktor warisan budaya juga sangat mempengaruhi karakter ini. Dalam bahasa lokal di Minahasa, sesuatu yang dimiliki individu yang  memancar dari keutuhan penampilan diri dan yang mampu memikat perhatian orang lain disebut inamo. Unsur yang misterius ini dimiliki baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan, dan pada dasarnya ia merupakan sesuatu kandungan yang selalu ada pada setiap individu-aura dalam bahasa Indonesianya.

Jika kita boleh mengambil seorang perempuan sebagai model atau contoh, maka setiap perempuan normal akan selalu berusaha menempatkan dan menampilkan diri yang dianggapnya memang pantas untuk dilakoninya. Adat kebiasaan Minahasa sangat membolehkan perempuan menggunakan perhiasan atau aksesoris apapun, termasuk tentunya busana, asalkan itu memang diperlukan agar inamo yang ada dalam dirinya muncul dan lebih membuatnya percaya diri, lebih membuat orang lain yakin bahwa dia adalah perempuan Minahasa yang harkat dan martabatnya sejajar dengan laki-laki, dan lebih dari itu, hendak meyakinkan pihak manapun bahwa dia adalah sosok perempuan Indonesia yang menjunjung tinggi sifat-sifat egaliter, demokratis, penjaga nilai-nilai budaya, yang selalu mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Sangat naif apabila ada yang segera mengkriminalisasi perempuan Minahasa yang sedang mengekspresikan inamo yang dimilikinya, hanya karena penilaian subjektif dangkal terhadap pola tingkah lakunya serta pilihan dan cara berbusananya. Hal demikian berlaku pula untuk laki-laki Minahasa yang di manapun berada, selalu berusaha menjaga harkat dan martabatnya yang sedapat mungkin ditunjang oleh pilihan berbusana untuk mengaktualisasikan dirinya.


6.     Orang Minahasa pemakan segala binatang.


Faktor tempat tinggal yang dikemukakan oleh narasumber sepertinya sudah sangat tepat untuk menjelaskan mengapa orang Minahasa bisa dengan lahap menikmati semua binatang tak lazim itu. Selain itu, adalah faktor kepercayaan juga mempengaruhi hal ini. Kepercayaan (agama) mayoritas yang dianut oleh masyarakat Minahasa adalah Kristen, yang notabene tidak ada larangan untuk memakan hewan apapun.

 


2 comments:

  1. Pemikiran yang membangun berdasarkan kenyataan dengan tanpa memihak sangat baik untuk kemajuan bersama.

    salam dan terima kasih Tuhan Yesus memberkati orang Talaud, orang Sangihe, orang Mongondow, dan orang Minahasa

    ReplyDelete
  2. Sumber dari mana kamu bilang orang minahasa berjuang utk memerdekakan diri dari nkri??? Hhh ngaur saja....

    ReplyDelete

Followers