What's inside my head...

You were born an original. Don't die a copy.
-- John Mason

About Me

My photo
This one is an old blog of mine that i wont ever touch anymore. Please kindly visit my new blog: stashionery.wordpress.com thx all

Monday, October 12, 2009

Apakah Opera van Java Mencerminkan Budaya Indonesia?


Dalam beberapa dekade belakangan ini, media telah banyak melakukan penyimpangan nilai dalam menjalankan fungsinya, yang utamanya adalah untuk mengedukasi , menghibur dan memberikan informasi. Dalam mengemas informasi, hiburan, dan edukasi yang ingin disampaikan, media, baik secara sengaja maupun tidak, seringkali kurang memperhatikan “kerapihan” (dalam berbagai aspek) dan juga kurang mempertahankan idealismenya. Sehingga dalam prakteknya, justru berujung pada kerusakan nilai-nilai social, public, bahkan nilai kebangsaan.
Dengan alibi bahwa komersialitas dan kebutuhan pasar adalah alasan utamanya, media sepertinya semakin gencar menebarkan faktor-faktor perusak (namun menarik pasar, memang) dalam setiap inti dari informasi, hiburan maupun edukasi yang ingin disampaikannya.  Pada praktek media dalam system komunikasi Indonesia, kita bisa menarik banyak contoh, seperti penggunaan bahasa kurang baik yang sangat tidak asertif dan edukatif, penonjolan unsur sarkasme, kebohongan public, penyebaran nilai-nilai pornografi maupun pornoaksi, dll.
Dalam makalah ini, saya akan menyoroti tingkah media dalam dimensi dunia perlawakan yang seringkali tidak mempertahankan idealism kebangsaan dan juga dinilai, telah membunuh karakter bangsa Indonesia secara tidak langsung. Opera van Java, program lawak baru, yang sangat digemari semua kalangan, bahkan telah meraih rating tertinggi. Secara tak sadar, public dibiasakan untuk menikmati kekerasan, kekasaran (baik dalam bersikap maupun dalam bertutur kata), sebagai suatu hal yang lucu dan layak untuk diikuti.


MASALAH UTAMA

Opera van java telah menarik perhatian masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan, berdasarkan strata social, pendidikan, maupun golongan umur. Semua kalangna menikmatinya dan OVJ pun telah meraih rating tertinggi dalam genre komedi.

Banyak pertentangan seputar program komedi ini, beberapa kritikus menilai OVJ sebagai tayangan yang tidak mendidik, karena pelawak-pelawaknya seringkali bertindak kasar, dan hal ini dikategorikan sebagai penyimpangan budaya. Beberapa kritik lain juga datang dari kalangan seni yang melihat OVJ dari segi kepakemannya dalam mempertahankan idealism perlawakan. Selain itu, para orang tua yang kristis juga terlihat gerah tatkala melihat anak-anaknya yang masih kecil sering menirukan gaya-gaya pelawak OVJ yang kasar baik dalam tutur kata maupu tingkah laku. Namun, sebagian besar masyarakat lain sepertinya tidak terpengaruh dan tetap menikmati OVJ sebagai hiburan dan sarana melepas penat.
 

SINOPSIS CERITA "OPERA VAN JAVA" JAKA TING-TING (29/09/09)

Jaka Ting-Ting (Sule) bersama temannya Mas Asih (Azis gagap) berguru ilmu kesaktian dengan Guru Kali Ajah (Toro Margens). Anak sang Guru, Ganjeni (Nunung) sangat mencintai Jaka Ting-Ting.

Setelah menjadi murid, mereka diutus oleh guru untuk turun gunung, untuk pergi mengabdi sebagai prajurit ke Kerajaan Demek. Karena kejujuran dan kelihaiannnya, akhirnya Jaka Ting-Ting diangkat menjadi kepala prajurit. Suatu hari, Kerajaan sedang membutuhkan banyak prajurit. Jaka Ting-ting bertugas untuk menseleksi para calon prejurit dan secara tidak sengaja membunuh salah satu calon prajurit. Raja Sultan Lenggono (Andre Taulani) melihat hal itu dan memecat Jaka Ting-Ting.

Karena hal tersebut akhirnya Jaka Ting-Ting dan Mas Asih kembali kepada Guru mereka. Guru pun membuat rencana, yaitu untuk melatih mereka lagi, dan kemudian mengutus kembali kedua prajurit tersebut. Guru menyulap Mas Asih menjadi “kebo gila” untuk diutus ke Kerajaan agar membuat kekacauan disana, lalu Jaka Ting-Ting akan datang menjadi penyelamat bagi kerajaan. Jaka Ting-Ting akan bisa mengalahkan kebo gila, tapi dengan satu syarat, yaitu Jaka Ting-Ting harus menjaga keperjakaannya.

Rencana itu terealisasi, dan gemparlah satu kampong di kerajaan Demek. Jaka Ting-Ting datang untuk mengalahkan kebo gila, namun yang terjadi adalah sebaliknya, kebo gila tetap menang. Raja pun akhirnya tahu bahwa kekacauan itu hanya akal-akaln mereka. Lalu Raja menghadap guru untuk marah atas rencana busuknya tersebut.

Guru terkejut mendengar Jaka Ting-Ting bisa dikalahkan oleh kebo gila. Rupanya penyebabnya adalah karena Jaka Ting-Ting telah menghamili Ganjeni, anak Guru.
 

PEMBAHASAN MASALAH
Opera Van Java

Opera van Java adalah sebuah tayangan komedi yang mengangakat konsep perwayangan dan mengusung cerita-cerita legenda popular. Tayangan ini dipopulerkan oleh Trans7, setiap hari Senin-Jumat, pukul 20.00.

Dilihat dari judulnya, sudah dapat ditebak bahwa tayangan komedi ini memiliki konsep perwayangan Opera Jawa, yang terdiri dari dalang (yang dilakoni oleh Parto Patrio), pemusik tradisional, sinden (Rina “sinden” dan Dewi Gita), dan wayang. Wayang-wayangnya disini adalah pelawak-pelawak tetap (Sule, Azis Gagap, Andre Taulani, Nunung) ditambah beberapa bintang tamu yang berbeda di setiap episodenya.

Hal yang unik dalam Opera van Java yang membedakannya dari Opera Jawa sungguhan antara lain:
1.      Cerita secara sentral hanya dipegang oleh dalang (Parto), wayang (para pelawak) hanya memainkan apa yang diperintahkan dalang dengan improvisasi yang lucu, segar, luas, dan terkadang (bahkan hampir selalu) tidak beraturan sehingga membuat cerita menjadi tidak jelas, dan tidak mempertahankan benang merah.
2.      Rina sang sinden dan juga pemusik (gamelan) tidak memainkan lagu-lagu Jawa yang sesuai dengan cerita, namun membawakan lagu-lagu popular Indonesia, seperti lagu Dewa 19, ST12, Gita Gutawa, dll, yang aransemennya dirubah menjadi irama lagu Jawa, layaknya lagu “sinden”. Lagu-lagu yang dibawakan juga seringkali tidak membangun isi cerita. Namun, tak jarang juga pemusik memainkan irama lagu daerah. Tapi itu hanya terjadi jika kebetulan wayang (pemain) sedang membutuhkannnya untuk mengiringi improvisasi lawak mereka.
3.      Opera van Java tidak hanya membawakan cerita-cerita legenda Jawa. Cerita-cerita yang dibawakan umumnya adalah cerita popular yang berasal dari daerah-daerah di Indonesia, tidak terkhusus dari Jawa (contohnya: Malin Kundang, Sumatra), atau bahkan dari mancanegara (seperti Harry Potter).

Opera Van Java dan Idealisme Perlawakan Indonesia

Menurut dramawan dan sineas, Arifin C. Noer, pelawak adalah “Raja Kebudayaan”. Maksud dari “raja kebudayaan’ disini adalah sebuah subjek yang memiliki otoritas cultural untuk membentuk dan membangun jiwa dan mental (karakter) masyarakat yang berbudaya. Maka dari itu, idealnya, dunia perlawakan Indonesia diharapkan dapat menjadi sebuah media penyampaian pesan kebudayaan yang dilakonkan dengan estetika lawakan yang cerdas, visioner, dan elegan.
Menurut para kritikus seni, grup lawak Indonesia yang berhasil mempertahankan idealism perlawakan tersebut, dan telah berhasil juga menjelma menjadi sebuah budaya yang pantas bagi masyarakat, hanyalah Srimulat. Grup lawak Srimulat kini memang sudah tidak berkibar lagi seperti pada tahun 1970-an hingga 1990-an. Namun, Srimulat tetaplah tonggak grup lawak di negeri ini. Grup yang didirikan Teguh Srimulat pada tahun 1950-an ini telah membuat Indonesia tertawa dan menyadarkan bangsa ini pada nilai kemanusiaan. Dalam konteks itu, Srimulat telah menjadi subkultur, yakni adalah kebudayaan khusus yang timbul karena faktor daerah, suku bangsa, agama, profesi, dan seterusnya.
Opera van Java, bersama grup-grup lawak serupa (seperti Tawa Sutra, Extravaganza, Suami-Suami Takut Istri) dapat dikategorikan sebagai dagelan pop, yang mana resep utamanya adalah paduan antara humor/ dagelan dan improvisasi/lakon-lakon kekonyolan dengan  hal-hal sensational, seperti contohnya: tubuh wanita, isu-isu umum ataupun tokoh-tokoh masyarakat (dengan maksa yang diplesetkan, tentunya).
Dalam dagelan pop semacam Opera Van Java, tawa yang muncul benar-benar karena kekonyolan hidup yang sebenarnya, bukan kekonyolan artificial yang muncul karena kreatifitas pelawak di atas panggung.
Tawa meledakpun tidak lagi menjadi sebuah impuls motorik yang fisikal, namun hanya sebuah guncangan perut saja. Padahal idealnya, sebuah lawakan haruslah dikemas secara subversif, yang dapat mengalirkan gelombang-gelombang energy secara halus, dan menjalardalam pikiran, hati, dan kemanusiaan. Sehingga, penonton tidak hanya mendapatkan hiburan, tapi juga dicerahkan. Maka dari itu, Opera van Java sesungguhnya sangat tidak mempertahankan idealism perlawakan Indonesia.
Opera Van Java dan Pencerminan Budaya Indonesia

Jika kita mengkaji OVJ dengan parameter budaya Indonesia, kita bisa melihat dari beberapa aspek budaya nonmateri, seperti nilai, norma, symbol, bahasa, dan keragaman.
nilai dan norma

Nilai, secara budaya didefinisikan sebagai gagasan seputar apa yang hal yang penting. Nilai menggambarkan bagaimana budaya itu seharusnya. Banyak nilai-nilai yang dianut oleh bangsa ini, seperti nilai keramahan, sopan santun, gotong royong, tenggang rasa, patriotism, dll. Lalu ada juga norma diturunkan dari nilai. Norma terdiri atas aturan dan apa yang diharapkan untuk dilakukan satu individu tatkala menghadapi situasi tertentu. Norma dibutuhkan manusia untuk menjamin keteraturan social. Norma sekaligus menginstruksikan maupun melarang sesuatu perilaku.

Dalam OVJ, kita dapat melihat jelas adanya beberapa penyimpangan nilai, seperti nilai kesopanan, dimana dalam lakonnya, pelawak-pelawak OVJ sering kali (bahkan hampir selalu) mempraktekkan kekerasan dalam lawakannya, contohnya saling pukul atau lempar property ke lawan main. Selain itu, penghamburan sumber daya kebendaan (dalam hal ini properti syuting) juga hampir selalu terjadi. Property dapat dengan mudahnya dirusak oleh para pelawak OVJ hanya untuk dilempar, atau dijadikan alat untuk melaksanakan kekerasan terhadap lawan mainnya, kekerasan dan penghamburan property seperti ini jelas tidak sesuai dengan nilai dan norma yang seharusnya ada dmasyarakat kita.
Namun, dalam budaya seringkali terdapat ketidak cocokan antara budaya ideal (nilai dan norma yang diklaim oleh suatu masyarakat) dengan budaya real (nilai dan norma yang sesungguhnya mereka praktekkan). Jika suatu hal di angkat ke permukaan dan sesuai dengan budaya real, maka cukup pantaslah sesuatu itu dikatakan sebagai pencerminan budaya. Namun, jika hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan budaya ideal, maka pantaslah juga hal tersebut dikatakan menyimpang.
Banyak sekali nilai dan norma yang diangkat dalam OVJ yang sesungguhnya sesuai dengan karakter real masyarakat Indonesia sendiri. Dalam prakteknya, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat kita belum bisa dikatakan sebagai masyarakat yang santun. Tingkat pendidikan masyarakat kita yang rata-rata rendah, sangat memungkinkan masyarakat kita berkembang menjadi masyarakat yang kasar dan suka dengan kekerasan. Sayangnya, hal itu telah terjadi, dan karakter masyarakat yang seperti itu juga telah terbentuk. Hal ini digunakan oleh OVJ untuk meraih penontonnya, dan hal ini justru berhasil membuat penonton terhibur. Buktinya, setiap ada tindakan “lempar property” atau “saling jorok menjoroki” atau kekerasan lainnya, penonton banyak sekali yang tertawa dan menikmati.  Selain itu, masyarakat kita juga bukanlah masyarakat yang menjunjung tinggi arti penghematan. Masyarakat kita seringkali dinilai kurang menghargai dan meremehkan hal-hal kecil, dalam hal ini ,property, yang sekalipun hanyalah benda-benda gabus, tapi sebenarnya bernilai tinggi. Karakter lainnya adalah ketidak disiplinan. Masyarakat Indonesia memang bukanlah masyarakat yg disiplin, dan hal ini sangat terwakili oleh para pelawak OVJ yang sering ngalor ngidul dalam berimprovosasi, hingga benang merah tidak kelihatan dan ceritanya justru tidak terbaca. Dan hampir selalu, dalam tiap episode, ditampilkan dalang yang marah dengan para wayangnya karena “ngalor ngidul” tersebut. Jadi, perlu kita akui bahwa kekerasan, penghamburan property, dan “ngalor ngidul” yang diekspos dalam tayangan OVJ sebetulnya adalah percerminan dari karakter masyarakat kita yang sebenarnya, sekalipun hal tersebut jelas menyimpang dari budaya ideal Indonesia.
keragaman

Dalam suatu budaya, pasti terdapat keragaman. Jika budaya disebut dengan kultur, maka keragaman atau perbedaan dalam budaya disebut dengan subkultur. Subkultur adalah budaya yang relatif lebih kecil di dalam budaya dominan. Budaya tersebut punya cara hidup yang berbeda di sejumlah hal yang terpenting dari budaya dominan. Tidak semua subkultur dalam budaya dominan menganut nilai-nilai budaya dominan. Budaya yang menentang pola budaya dominan disebut counter-culture (budaya tandingan).

Budaya Indenesia adalah sebuah budaya dominan, dimana budaya/adat istiadat dari masing-masing suku bangsa dapat dikatakan sebagai subkulturnya. Opera Van Java, dalam episode-episodenya, mengangkat kultur Indonesia, serta subkulturnya. Terbukti dari cerita-ceritanya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan menonjolkan ciri-ciri dari adat budaya yang bersangkutan. Misalnya: ada perbedaan signifikan ketika OVJ membawakan cerita adat Batak dengan cerita adat Sunda. Jika dalam membawakan cerita adat sunda, pastilah karakter-karakter wayang (pemain) akan lebih halus dibandingkan pada saat mereka sedang beraksi dengan karakter seorang Batak. Karakter adat Batak pada umumnya adalah keras dan kasar, mungkin berbeda dengan nilai-nilai budaya Indonesia, sebagai budaya dominan (counter-culture). Selain itu dari segi atribut dan property juga pasti berbeda. Maka dari itu, jika ditinjau dari aspek keragaman, maka Opera Van Java sudah cukup berhasil menunjukannya.

Sekalipun judul dan tema umum mengambil adat Jawa, namun OVJ tidak jarang mengambil cerita dan menonjolkan unsure adat lain. Hal ini sebaiknya janganlah diasumsikan sebagai suatu ketidak konsekuenan atau ketidak harmonisan antara konten dan judul. Karena bagaimanapun, ini adalah sebuah tayangan komedi, dimana memang dibutuhkan keluwesan atau fleksibilitas dalam berkreasi.

Namun, sangat disayangkan juga karena tidak jarang OVJ juga mengangkat cerita dari mancanegara, contohnya, Harry Potter, Sunggokong, Oshin, dll, karena sebenarnya tidak sinkron sama sekali dengan adat Indonesia. Alangkah baiknya jika, OVJ menngkonsentrasikan cerita mereka pada daerah-daerah lain di Indonesia, termasuk juga pada cerita-cerita daerah yang tidak popular. Dengan begitu, OVJ dapat lebih memfungsikan dirinya sebagai tayangan yang kental dengan budaya, dan membantu penyebaran budaya Indonesia popular maupun tidak.
symbol dan bahasa

Simbol adalah sesuatu yang melambangkan, mewakili, atau menyatakan hal lain dalam suatu budaya. Simbol dapat mewakili gagasan, emosi, nilai, keyakinan, sikap atau peristiwa. Symbol dapat berupa apa saja, gerakan tubuh, kata-kata, objek, atau peristiwa. Bahasa juga merupakan system symbol yang memungkinkan proses komunikasi dalam budaya, yang dapat berupa lisan maupun tulisan. Dalam bahasa terdapat aksen atau logat. Berkaitan dengan keragaman, masing-masing subkultur pasti juga memiliki system symbol (termasuk bahasa dan aksen) yang membedakannya.

Dalam OVJ banyak symbol-simbol budaya Indonesia yang ditonjolkan, seperti perbedaan bahasa; music pengiring (secara umum, gamelan Jawa, namun secara khusus, ditunjukkan ketika pemusik memainkan irama lagu-lagu daerah –baik jawa maupun daerah lain- ketika wayang sedang berimprovisasi dan butuh iringan); kostum daerah yang dipakai dalang, pemusik, hingga wayang; property, seperti rumah-rumahan Gadang, sepeda ontel, dll.

 

KESIMPULAN DAN SARAN
Jika ditinjau dari segi idealism kesenian, Opera Van Java memang bisa diasumsikan telah merusak pakem, karena seharusnya, sebagai suatu kesenian dalam negeri, OVJ sebaiknya dikemas secara subversif agar bisa berperan dalam pembangunan bangsa dan masyarakat kita.
Saat ini lawakan cenderung hanya menjadi komoditas industry yang kurang tertarik pada kritisisme. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kritisisme dalam kesenian, termasuk lawak, tidak lagi dibutuhkan karena sudah ”diwakili” pers yang bebas dan forum-forum lain. Padahal sesungguhnya kritisisme dalam dunia kesenian (termasuk lawak) sangat dibutuhkan, karena kritisisme dalam kesenian memiliki pola ungkap estetik dan simbolik yang mampu menyentuh emosi dan kognisi public. Hal itu lahir dari proses transformasi estetik dengan kemampuan atau daya gugah yang tinggi. Kapasitas semacam ini terbukti lebih kuat dan efektif ketimbang misalnya pernyataan-pernyataan sloganistik dari kalangan politik, akademis, atau aktivis social.
Seperti paradigma Fungsionalisme Struktural yang dipakai Emile Durkheim dalam pendekatan masalah system social, yang memandang masyarakat sebagai sistem yang kompleks, dalam mana bagian-bagian di dalamnya saling berkait dan bekerja secara bersama guna memelihara stabilitas social. Teori ini membuktikan bahwa memang peran kesenia tidak kalah penting dalam mengkritisi masalah social.
Dari aspek nilai dan norma, memang OVJ menyimpang dari budaya ideal,dengan banyaknya adegan kasar dan keras dalam penanyannya. Namun sesungguhnya itu merupakan sebuah pencerminan budaya Indenesia yang real yang ada di masyarakat kita. Jadi, baiklah jika OVJ kita jadikan cermin bahwa memang sebenarnya mental dan kelakuan bangsa ini sudah diluar pakem, dan harus diubah secara system social (yang melibatkan semua unsure masyarakat, termasuk kesenian dan lawak). Sedangkan dari segi keragaman dan symbol, OVJ sudah cukup mencerminkan budaya Indonesia.
Jadi, jika ditinjau dari aspek budaya, Opera Van Java cukup mencerminkan budaya Indonesia, meskipun masih ada beberapa teknis yang perlu dirubah, untuk mencapai kesempurnaan pencerminan budaya yang ideal, seperti menghilangkan unsure kekerasan, ketidakdisiplinan dalam berimprovisasi, penghamburan property, dan tidak mengangkat cerita dari mancanegara.


No comments:

Post a Comment

Followers