What's inside my head...

You were born an original. Don't die a copy.
-- John Mason

About Me

My photo
This one is an old blog of mine that i wont ever touch anymore. Please kindly visit my new blog: stashionery.wordpress.com thx all

Monday, October 12, 2009

Pengaruh Krisis Ekonomi Global terhadap Ekonomi Indonesia



Akhir-akhir ini ekonomi dunia sedang mengalami guncangan. Setelah dunia mengalami krisis serupa 80 tahun lalu, kini hal yang sama terjadi lagi, secara global, dan bahkan lebih buruk. Namun berbeda dengan kondisi 80 tahun lalu, keadaan krisis ini terjadi karena krisis financial yang dialami Amerika Serikat, dimana pembelanjaan Negara Amerika besar pasak daripada tiang. Besar biaya pembelanjaan militer Negara adidaya tersebut menyebabkan krisis ekonomi sejak tahun 2007 lalu. Tidak hanya itu, bahkan besar hutang luar negeri AS telah menyamai besarnya hutang luar negeri Indonesia (hutang AS telah mencapai milyaran dollar terhadap China).
Krisis yang terjadi di AS saat ini yang di tandai dengan ambruknya perusahaan besar di dunia keuangan, seperti Lehman Brothers dan terpaksa di jualnya Merill Lynch. Hal ini diakibatkan peningkatan kredit bermasalah yang luar biasa setelah terjadinya krisis kredit perumahan dan sekarang telah menyebar ke seluruh pasar kredit.


Namun Krisis yang terjadi di AS bukan hanya mempengaruhi perekonomian AS tetapi juga perekonomian global. Hal ini dapat di lihat dengan anjloknya harga saham di seluruh dunia. Negara-negara yang mempunyai pondasi perkonomian yang kuat seperti Eropa dan negara-negara di Asia Timur tidak begitu besar berpengaruhnya. Krisis Ekonomi di AS ini sangat mempengaruhi di negara-negara yang mempunyai pondasi perekonomian yang kurang kuat, seperti negara-negara berkembang.


Perekonomian Indonesia saat ini belum benar-benar pulih dari krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia di tingkat domestik sejak pertengahan 1997. Krisis Indonesia tahun 1997 telah mewariskan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah sebesar US$ 7,5 milliar dan US$ 200 miliar sebagai total utang Indonesia (termasuk utang pemerintah dan perusahaan swasta). Saat ini perekonomian Indonesia juga terpengaruh oleh krisis ekonomi yang terjadi di AS. Hal ini dapat di lihat ketika pemerintah menutup penjualan saham di bursa efek beberapa kali, hal ini dimaksudkan supaya harga saham tidak terus turun, sehingga pemilik perusahaan tidak rugi besar. Hal yang sedikit anomali juga terjadi, di seluruh dunia kurs dollar melemah, tapi di Indonesia kurs dollar malah menguat terhadap rupiah. Indonesia masih rawan akan berbagai instabilitas politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan, finansial, dan kegiatan investasi. Sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa krisis terjadi di AS? Dan Mengapa Indonesia selalu terpengaruh terhadap instabilitas yang terjadi secara global, termasuk krisis ekonomi di AS?





PROBLEMS

Penyebab krisis ekonomi global
Kejatuhan ekonomi dunia dimulai dari negara Amerika Serikat yang hingga sekarang masih menjadi barometer perekonomian dunia. Jadi wajar saja, ketika perekonomian AS jatuh, perekonomian dunia juga ikut terimbas dampaknya.
Telah kita ketahui saat ini Amerika Serikat sedang berada di ambang kehancuran financial sebagai imbas dari krisis ekonomi. Trauma akan krisis ekonomi di tahun 1929 yang sering disebut Great Depression kembali menghantui. Pada saat itu dampak krisis itu menasional bagi rakyat Amerika Serikat, seperti kesulitan keuangan karena lapangan pekerjaan sedikit hingga kelaparan.
Seperti mengulang kejadian Great Depression, dimana saat ini banyak saham-saham yang menjadi maskot Wall Street berguguran. Apalagi perusahaan sekelas Lehman brothers dan Washington Mutual menyatakan kebangkrutan. Belum lagi raksasa Asuransi AIG, sahamnya turun hingga 50 persen.
Efek dari krisis ekonomi dan finansial di USA telah merambat ke negara-negara di Asia dan Eropa. Banyak negara yang memberikan suntikan dana kepada lembaga keuangan supaya tidak tergerus arus krisis Ekonomi yang berasal dari Amerika Serikat.


Mengapa Negara sekuat AS dapat hancur lebur perekonomiannya?
            Mungkin ini menjadi pertanyaan bagi sebagian besar orang, mengapa negara super power dan terkenal kuat finansialnya bisa mengalami krisis moneter atau ekonomi. Dan kemungkinan berada di ambang kebangkrutan yang akan menyengsarakan rakyatnya dan sebagian besar negara di dunia.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus kembali ke era 80-an, dimana pada saat itu AS juga tengah mengalami masa-masa melambatnya perekonomian. Untuk merangsang perekonomiannya, pada tahun 1986, pemerintah AS menetapkan reformasi pajak, salah satunya berisi pengurangan pajak bagi pembelian rumah, yang berlaku untuk setiap rumah yang dibeli (boleh lebih dari satu). Mengapa? Karena pada saat itu, boleh dibilang rata-rata penduduk AS sudah makmur dan mempunyai rumah sehingga mereka tidak terdorong lagi untuk membeli rumah yang ke-2, ke-3, dst. Hal ini menyebabkan sektor properti_yang merupakan salah satu penggerak perekonomian AS terhambat pertumbuhannya. Maka ‘jalan baru’ ini dibuat untuk kembali meningkatkan properti AS. Bahkan, pembelian rumah boleh dilakukan dengan cara kredit yang disebut mortgage (semacam KPR,walaupun berbeda) yang telah ditetapkan sejak tahun 1925. Mortgage ini diberikan hanya kepada orang yang telah melewati standar tertentu, berupa penghasilan yang besarannya harus melebihi standar yang ditetapkan.
Dengan adanya fasilitas pajak tersebut, gairah bisnis perumahan meningkat drastic menjelang tahun 1990 dan berlanjut hingga 12 tahun kemudian. Besaran mortgage yang sebelumnya hanya USD 150 miliar setahun meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun-tahun berikutnya dan bahkan mencapai USD 700 miliar pada tahun 2004.
Lalu apa efeknya?
Peningkatan secara signifikan penjualan rumah sejak 1990-2004 bukan hanya disebabkan oleh fasilitas pajak. Adanya fasilitas tersebut dilihat sebagai peluang emas bagi ‘para pelaku bisnis keuangan’ untuk membesarkan perusahaan mereka dan meningkatkan laba. Jadilah, mereka berbondong-bondong menjual rumah dengan memberikan kredit kepada masyarkat AS terus menerus yang menyebabkan permintaan rumah menjadi tinggi sehingga harga rumah dan tanah semakin naik dan bahkan melebihi bunga bank. Keadaan ini kemudian dimanfaatkan oleh pemilik rumah dalam upaya mendapatkan laba, setelah rumahnya lunas, di-mortgage-kan kembali untuk membeli rumah berikutnya. Yang di bawah standar, bisa mendapatkan kredit dengan harapan harga rumah semakin tinggi. Kalau tidak sanggup membayar, bank masih untung karena harga rumah yang tinggi. Jadi tidak ada kata takut bagi bank untuk memberikan kredit rumah.
Namun, bank juga mempunyai batasan kredit yang diatur dalam UU perbankan sehingga memaksa mereka untuk bekerja sama dengan investment banking yang secara singkat fungsinya semcam broker, contohnya Lehman Brothers, Bear Stern, dll. Lembaga ini sangat agresif dalam meningkatkan keuntungan perusahaan yang tidak lain disebabkan karena kebebasan-kebebasan yang dimiliki dibandingkan bank-bank secara umum sehingga orang-orang yang kurang memenuhi syarat (suprime) dirangsang untuk meminta mortgage.
Bank atau lembaga keuangan yang memberikan kredit juga telah menjaminkan rumah ke bank atau lembaga keuangan lain. Bank dan lembaga keuangan yang menjadi penjamin juga menjaminkan rumah tersebut ke bank dan lembaga lainnya demikian seterusnya hingga terjadi multiplier effect yang berkisar 30-60%, terlihat dari bagan di atas. Efek ini terus berlanjut ke berbagai produk derivatif di bawahnya, seperti surat berharga, futures, options, CDO, dsb. yang tersebar ke berbagai belahan dunia. Karena adanya sistem margin dari produk derivatif ini dimana kita dapat bertransaksi walaupun dana yang dimiliki tidak cukup menyebabkan banyak uang virtual yang diciptakan yang besaranya jauh melebihi uang yang ada sesungguhnya.
Dan akhirnya…
Ketika kondisi gagal bayar terjadi, hal yang tidak menjadi masalah jika hanya sebagian pihak tertentu saja, dan meningkat signifikan secara bersamaan. Menyebabkan banyak rumah yang disita, rumah yang dijual juga sangat banyak untuk menutupi gagal bayar yang terjadi. Ini tentunya menyebabkan penawaran rumah jauh melebihi permintaan sehingga harga rumah anjlok. Anjloknya harga rumah berimbas pada nilai jaminan rumah yang tidak sesuai dengan nilai pinjaman, yang akhirnya menyebabkan semakin banyak gagal bayar yang terjadi.
Jadi ketika timbul kondisi gagal bayar, terutama dari golongan suprime dan Alt-A efeknya terus terimbas secara tak berhingga banyaknya sehingga dari USD 1,6 trilliun membengkak menjadi USD 5 trilliun, besaran yang diperkirakan termasuk dalam mortgage. Jadi keinginan Presiden Bush untuk menyuntikkan dana sebesar USD 700 miliar guna menyelesaikan masalah memang patut dipertanyakan. Itulah yang menyebabkan keputusan dikeluarkan atau tidaknya dana tersebut berlarut-larut.
Jadi kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang “menabung”-kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang saat ini lagi pada kesulitan itu.
Sebesar tabungan itulah dan ditambah dengan kepemilikan modal asing di dalam negeri, Indonesia akan terseret ke dalamnya, rasanya tidak banyak, jika pengaruhnya dibandingkan dengan pengaruh pada Singapura, Hongkong, atau Cina.
Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi pusat beroperasinya raksasa keuangan dunia. Sedangkan Cina akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Cina yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran kesana.


Bank-bank AS sebagai dalang
Bank-bank di AS dan bank-bank asing ternyata menjadi biang kerok krisis ekonomi global yang terjadi saat ini.
Laporan terbaru lembaga Center for Public Integrity menyatakan bahwa bank-bank asing dan bank-bank AS bukanlah korban dari krisis ekonomi, tapi mereka yang telah menyebabkan krisis ekonomi terjadi.


Menurut laporan itu, lembaga-lembaga pemberi pinjaman yang menjadi pemicu krisis ekonomi global, adalah lembaga-lembaga yang dimiliki atau mendapat dukungan dana dari bank-bank besar bertaraf internasional. Dan sekarang, lembaga keuangan dan bank-bank besar itu menerima suntikan dana bantuan dari pemerintah.
Center for Public Policy Integrity-lembaga yang melakukan berbagai survei investigatif-dalam laporannya menyebutkan 25 perusahaan "pemberi pinjaman" yang telah memberikan pinjaman beresiko tinggi dan diduga bertanggung jawab atas runtuhnya pasar properti di AS dan meluasnya krisis ekonomi ke seluruh dunia.
Perusahan-perusahaan pemberi pinjaman itu, menurut hasil penelitian Center for Public Policy Integrity, beranggungjawab atas pinjaman yang nilainya mencapai 1 trilun dollar atau meliputi 72 persen industri pinjaman di AS. Pinjaman itu diberikan pada para peminjam yang sebenarnya tidak memenuhi syarat menerima pinjaman tersebut untuk keperluan kredit perumahan (mortgage).
"Bank-bank besar yang didanai oleh industri 'pemberi pinjaman' bukanlah korban krisis ekonomi seperti yang sering mereka katakan saat ini. Bank-bank ini sengaja melumpuhkan para bankir pemberi pinjaman yang mengancam sistem finansial," kata Direktur Eksekutif Center for Public Policy Integrity, Bill Buzenberg.
Lembaga Kebijakan Publik itu sudah menyampaikan hasil penelitian mereka ke para anggota Kongres AS, bersamaan dengan rencana Kongres untuk membentuk tim pakar yang akan menyelidiki penyebab krisis finansial yang melanda AS. Mayoritas suara di Kongres AS menyetujui pembentukan tim pakar tersebut untuk mengungkap adanya kejahatan ekonomi yang menyebabkan lumpuhnya perekonomian AS.


PROBLEMS DESCRIPTION

Dampak Krisis Global Terhadap Ekonomi di Indonesia
Badai ekonomi ini kian parah dengan terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) yang dipicu subprime mortgage buble crisis yang terus berlarut. Di AS, krisis ini diperkirakan telah menyebabkan kerugian hingga USD40 miliar akibat default payment dan devaluasi nilai aset obligasi penjaminan subprime mortgages.
Diyakini, jumlah ini akan terus meningkat seiring bertambahnya lembaga keuangan yang mengakomodasi nilai kerugian ke dalam laporan keuangan atau malah gulung tikar. Di banyak negara maju Asia, dampak dari kemelut ini sudah mulai dirasakan. Hal ini diindikasikan dengan penurunan nilai aset berbagai lembaga keuangan.Semakin eratnya struktur sistem keuangan dunia menyebabkan krisis keuangan kian merebak.
Pasar uang dunia pun terseret lantaran banyak aset-aset keuangan, baik yang berbasis mortage (pinjaman rumah) atau aset fisik lain yang dimodifikasi dan diderivasi (securitization and derivation) sedemikian rupa menjadi banyak bagian dan dijual ke pasar keuangan mancanegara.
Kuatnya dampak krisis ini pun telah menyebabkan Bank Dunia dan IMF mengoreksi proyeksi tingkat pertumbuhan ekonomi berbagai negara dan dunia.Perekonomian AS,misalnya,diprediksi akan melemah menjadi tumbuh sebesar 1,3% pada 2008 dari sebelumnya sebesar 2,7% pada 2007. Demikian pula, negara-negara di kawasan Eropa,diprediksi akan melemah dari 2,6% pada 2007 menjadi 1,4% pada 2008.
Adapun laju pertumbuhan Indonesia diperkirakan turun dari 6,5% 2007 menjadi sekitar 6,0% pada 2008. Memang, sejauh ini pengaruh dari krisis global ini belum terasakan di Indonesia. Dampak yang ada sebatas pada peningkatan inflasi yang telah mencapai 4,01% selama tahun berjalan (year-to-date) dan gejolak di pasar uang domestik, seperti melemahnya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan kurs rupiah.
Itu pun bersifat temporer. Sementara mengacu pada angka kuartal I 2008, tingkat pertumbuhan PDB cenderung konstan di angka 6,3%, demikian pula ekspor yang masih tumbuh di atas angka 18%. Meski demikian, belajar dari pengalaman-pengalaman tahun-tahun sebelumnya, seperti pada 1986 dan 2001, dampak dari krisis global agaknya baru akan nyata terlihat pada semester kedua tahun berjalan.
Dengan kata lain, pelemahan baru bisa jelas terbaca dari indikatorindikator ekonomi pada akhir tahun. Bagi Indonesia, krisis ini akan memiliki dampak yang saling terkait di berbagai sektor. Pada akhirnya,semua ini akan memperlambat pertumbuhan. Adapun dampakdampak yang terjadi pada perekonomian Indonesia meliputi: Pertama, krisis global akan menyebabkan terganggunya stabilitas makro nasional.
Inflasi yang sudah merayap naik pada gilirannya akan mengakibatkan tertekannya suku bunga ke atas dan melemahnya kurs rupiah. Hal ini selanjutnya akan mengakibatkan pelambatan pertumbuhan kredit, tertekannya tingkat investasi, dan melonjaknya non-performing loan (NPL) pada perbankan.
Peningkatan bunga juga akan mengikis pendapatan riil rumah tangga akibat besarnya biaya yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya bunga,seperti cicilan rumah, kendaraan, dan lainnya. Selain itu, beban fiskal pemerintah akan meningkat akibat membengkaknya biaya cicilan utang.
Ujung dari terganggunya stabilitas ini adalah semakin terjepitnya posisi dunia usaha dan sektor riil dari perekonomian, terutama yang tergantung pada pembiayaan perbankan. Tingginya suku bunga akan menyebabkan tersendatnya arus kredit, sehingga mengganggu bukan hanya ekspansi, tetapi juga ketahanan usaha–terutama pada usaha kecil dan menengah. Kedua, dampak krisis global akan menohok secara langsung dan tidak langsung industri nasional.
Bagi perusahaan yang bergerak di sektor industri, kenaikan harga minyak akan meningkatkan biaya produksi langsung berupa biaya penggunaan BBM.Selain itu,akan meningkatkan biaya harga komponen (raw materials) impor maupun lokal.Kenaikan ini juga otomatis akan meningkatkan ongkos transportasi dalam jalur distribusi.
Yang perlu diperhatikan, selain asumsi yang digunakan, dampak ini belum mengikutsertakan dampak tidak langsung berupa kenaikan harga komponen dan transportasi dari kenaikan harga minyak pada industri. Ada kemungkinan besar ekspor barang industri Indonesia akan mengalami penurunan bila terjadi pelemahan ekonomi global akibatkenaikanhargaminyak. Ketiga, peningkatan inflasi dan harga barang industri, serta kenaikan harga BBM akan menggerus pendapatan riil rumah tangga.
Hal ini pada gilirannya akan dimanifestasikan dalam bentuk penurunan tingkat konsumsi dan investasi domestik, yang akan semakin menambah tekanan ke bawah pada tingkat pertumbuhan. Ada beberapa hal mendasar yang perlu dilakukan untuk menghadapi badai ekonomi dunia. Hal terpenting yang perlu dilakukan pemerintah adalah melakukan reformasi mikro dengan cara membuka ruang fiskal, reformasi ketenagakerjaan, dan reformasi kelembagaan pasar.
Dibutuhkan juga satu strategi kebijakan yang tidak sekadar tambal sulam seperti peningkatan utang, pemberian insentif fiskal bagi industri, atau kebijakan transfer langsung (bantuan langsung tunai) bagi rumah tangga. Kebijakan ini cenderung bersifat artifisial bahkan bisa mendatangkan masalah lebih pelik bila dijadikan jalan keluar.
Seyogianya, kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah tidak sekadar bersandar pada pengutak-atikan instrumen fiskal. Untuk memberikan ruang lebih bagi penyesuaian dunia usaha dan sektor industri, pemerintah dapat mengupayakannya dengan cara memperkuat kelembagaan pasar dan memberantas kekakuan-kekakuan yang ada pada pasar.


Ekonomian Indonesia Saat Ini
Kondisi di Indonesia sendiri menurut Prof DR Amien Rais MA menyebutkan bahwa berdasarkan peraturan pemerintah No.77 tahun 2007 mengatur bahwasanya; bank devisa, bank non-devisa dan lain-lain bisa dikuasai 99% oleh pemodal asing, begitu pula di sektor kelistrikan. Selain itu untuk sektor pertanian ladang palawija di atas 25 hektar dapat dikuasai oleh asing sebanyak 95%, dimana para pemain di pasar uang Indonesia umumnya berasal dari luar negeri yang berkisar antara 60-70 persen. Hal tersebut menyebabkan kondisi ekonomi kita masih dipengaruhi oleh pihak asing. Arus uang masuk ke Indonesia sifatnya hanya mencari gain sementara sehingga tidak bisa masuk menjadi modal permanen bagi pembangunan Indonesia. Angka pertumbuhan Indonesia yang masih tergolong tinggi dibanding negara-negara maju menjadi spread keuntungan bagi spekulan untuk memutar modal mereka.
Negara saat ini dalam kondisi mengkhawatirkan dimana ketergantungan bangsa kita terhadap modal asing ataupun bantuan asing begitu tingginya sehingga telah merapuhkan jati diri bangsa yang bermartabat, berbudaya, dan beradab. Ketergantungan itu justru menjadi hal yang sulit terhindarkan menjerat abadi dalam lika-liku panjang ekonomi Indonesia. Kemandirian bangsa ini seakan sulit ditegakkan, belum lagi ketidakberdayaan bangsa ini dalam mengolah asset-asset potensi nasional secara optimal. Upaya efektif untuk keluar dari krisis ekonomi global Indonesia sebenarnya harus mencoba alternatif lain dengan cara memperkuat potensi wilayah agar tetap terjaga sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam rangka bergelut di tengah-tengah perekonomian global, jelas pemberdayaan potensi wilayah sangat menentukan. Ini mengingat bahwa dalam perekonomian global tantangan berat adalah negara dengan wilayah dan berpenduduk yang besar. Jika gagal strateginya, maka akan tergilas habis dalam percaturan dunia. Dan, di sinilah sumber kejahatan serta ketimpangan sosial yang ganas dalam kehidupan di sebuah negara. Peranan pemerintah daerah sangat penting dibanding dengan pemerintah pusat. Dalam segi ekonomi, maka potensi wilayah harus dibangkitkan dengan pemberdayaan masyarakat setempat agar mereka bisa menikmati dan menyumbangkan potensi diri untuk NKRI. Masyarakat di daerah dengan prakarsa kepala daerah harus aktif dalam menciptakan keunggulan bersaing (competitive advantage)-nya masing-masing. Pada akhirnya, secara merata dlam suatu wilayah Indonesia yang luas ini tercipta kekuatan besar yang mampu menghadapi ekonomi global. Pembangunan harus berdasar geographically cluster maping, mengingat Indonesia ini luas sekali berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik. Pangkas birokrasi kekuatan totaliter sebagai sumber pemborosan waktu dan energi dan berilah peluang pada masyarakat untuk berpartisipasi. Dalam segi politik, misalnya, maka pilihan kepala daerah (Pilkada) dan prosesnya juga harus dengan cara memberdayakan kemampuan mereka tanpa terlalu banyak intervensi pusat. Buatlah sistem yang mengandalkan pemberdayaan potensi daerah untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Dengan demikian, akan tercipta kekuatan besar NKRI dalam menghadapi ekonomi global. Di samping itu kebutuhan bahan-bahan produksi impor harus segera kita carikan solusi alternatif pemecahannya. Kalau perlu tenaga alternatif yang memang sudah tersedia di Indonesia bisa kita manfaatkan sebagai pengganti bahan produksi. Dan yang lebih urgen untuk bisa kita terhindar dari krisis global ini adalah dengan lebih menggerakkan sektor riil sebagai pendorong pertumbuhan yang disertai dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai. Karena sektor riil merupakan representasi mesin produksi lokal yang mampu sebagai stabilisasi ekonomi bangsa. Stabilitas mendorong orang untuk berinvestasi dan yang paling pentingnya pula adalah peran partisipasi aktif ekonomi kerakyatan dalam menggerakkan berbagai sektor ekonomi potensi perlu segera diselaraskan. Pemberdayaan usaha kecil menengah (UKM), menyuport industri kreatif serta penerapan tekhnologi tepat guna menjadi sasaran pokok penguatan fundamental perekonomian.


Dampak Krisis Global Terhadap Sector Riil di Indonesia
Ada persepsi yang kuat di kalangan pemerintahan bahwa krisis finansial global tidak akan terlalu berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Alasannya adalah fundamental ekonomi kita kuat dan sektor perbankan tidaklah serentan 10 tahun yang lalu. Selain itu, episentrum krisis berada jauh dari kita.
Pengalaman menunjukkan bahwa kita sering gagal untuk mendefinisikan fundamental ekonomi yang relevan untuk menangkis krisis. Krisis finansial global tak bisa ditangkis dengan pertumbuhan ekonomi, suku bunga, ataupun inflasi. Negara-negara yang memiliki kinerja ekonomi yang baik, seperti Korea dan Cina juga mengalami imbas yang lebih parah dibandingkan kita.


Selain itu, kerentanan juga bisa timbul oleh kenyataan bahwa sektor perbankan, asuransi, dan pasar modal didominasi oleh pelaku asing. Mereka sekarang sedang mengalami kesulitan di negaranya masing-masing dan tidak ada jaminan bahwa masalah mereka sebagian dialihkan ke Indonesia. Caranya, yaitu dengan menyedot likuiditas dari Indonesia untuk menutupi cash flow perusahaan induk.
Yang menjadi perhatian kita sekarang ini seharusnya tidak hanya sebatas kebijakan di sektor keuangan. Sektor riil juga harus kita amankan karena dampak negatifnya sudah mulai terasa. Antisipasi dampak di sektor riil menjadi sangat penting karena sebagian besar negara maju telah betul-betul merasakannya dengan cukup jelas.
Dampak terhadap sektor riil domestik dapat diidentifikasi melalui dua saluran. Saluran yang pertama adalah kenyataan bahwa sektor riil domestik terhubung secara langsung dengan sektor riil internasional. Kedua, sektor riil domestik juga terhubung dengan sektor finansial domestik dan internasional. Kita lihat satu per satu.
Sektor riil domestik dan internasional terhubung secara langsung melalui aktivitas ekspor dan impor. Karena sebagian besar negara maju mulai mengalami resesi, otomatis permintaan ekspor komoditas Indonesia akan berkurang. Negara-negara OECD memiliki pangsa sekitar 60 persen terhadap GDP dunia. Adalah sulit untuk membayangkan bahwa resesi yang mereka alami tidak akan mengganggu kita. Memang bisa dicari alternatif pasar. Tetapi, jelas tidak ada pasar yang mampu menggantikan peran mereka. Mereka terlalu besar untuk digantikan. Bahkan, semua negara tentunya akan melakukan hal yang sama, yaitu semaksimal mungkin mengalihkan ekspor ke negara mana pun yang mungkin. Karena itu, kita mungkin akan menghadapi persaingan yang lebih keras di pasar ekspor nontradisional. Bahkan, pasar domestik akan dibanjiri oleh produk-produk impor dari Cina dan Vietnam.
Masalahnya adalah kita telah memberlakukan pasar bebas dengan Cina sehingga tidak lagi bisa dengan mudah memberikan proteksi terhadap produk nasional. Inilah buah dari liberalisasi yang ugal-ugalan.
Dalam kenyataannya, perusahaan eksportir kita telah merasakan sebagian dampak negatif krisis sejak beberapa bulan yang lalu. Sebagian besar order ekspor telah mengalami pengurangan. Beberapa produsen tekstil belum menerima order untuk delivery tahun depan. Pembatalan order juga semakin sering terjadi.
Dampak negatif berikutnya bisa diidentifikasi melalui saluran finansial dan tampaknya justru akan membawa implikasi yang jauh lebih serius. Memang, mereka yang hanya percaya terhadap teori real business cycle tentunya tidak akan menganggap saluran ini begitu penting.
Mereka hanya percaya pada doktrin Modigliani, yakni finance is a veil yang berarti bahwa yang paling penting adalah sektor riil dan kejadian apa pun di sektor finansial tidak akan memiliki implikasi apa-apa terhadap sektor riil. Sebaliknya, aliran New-Keynesian justru percaya bahwa krisis di sektor riil bisa dipicu oleh situasi yang buruk di sektor finansial. Perkembangan yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa hipotesis New-Keynesian lebih mendekati kenyataan dan diindikasikan dengan hal-hal berikut ini.
Pertama, sebagaimana telah terjadi terhadap Grup Bakrie dan beberapa grup bisnis lainnya, ternyata anjloknya harga saham telah ikut menurunkan akses mereka terhadap kredit dan pasar modal. Ketika harga saham turun, net worth mereka otomatis juga turun sehingga credit-worthiness perusahaan-perusahaan mereka juga melemah. Pada gilirannya, mereka akan mengalami kesulitan untuk melakukan roll over dan refinancing untuk kredit yang telah jatuh tempo. Beberapa kreditor bahkan memutuskan untuk tidak melanjutkan pembiayaan berbagai proyek yang sudah berlangsung selama setahun terakhir ini. Kita akan menyaksikan banyak proyek yang tidak diselesaikan di tengah jalan karena kesulitan pembiayaan.
Kedua, volatilitas di pasar keuangan juga akan meningkatkan persepsi risiko. Akibatnya, perusahaan mejadi lebih sulit untuk mencari dana atau kalaupun ada dana harganya lebih mahal. Bahkan, JP Morgan Chase merekomendasikan bahwa obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia sebaiknya dihindari. Penilaian ini jelas membuktikan bahwa pemerintah sekalipun akan mengalami kesulitan dalam pembiayaan defisit. Dunia usaha tentunya akan menghadapi kesulitan yang jauh lebih parah.
Ketiga, kesulitan likuiditas perbankan dalam beberapa minggu terakhir ini mulai terasa oleh sektor riil. Kredit menjadi lebih sulit untuk diperoleh. Dunia usaha mulai mengeluhkan bahwa kredit yang telah disetujui oleh bank, tiba-tiba dibatalkan secara sepihak. Hal itu kini lebih sering terjadi, terutama terhadap UKM yang memang bukan prime customer bagi perbankan. Dengan lebih seretnya kredit, ekspansi dunia usaha pada tahun 2009 mungkin akan terhambat. Pertumbuhan investasi akan mengalami koreksi habis-habisan.


CONCLUSION AND SOLUTION




Krisis global yang terjadi di Amerika Serikat telah memberikan dampak bagi perekonomian di seluruh dunia. Krisis yang berawal dari pemberian kredit secara besar – besaran (Subprime Mortgage) yang dilakukan oleh lembaga keuangan mengalami kerugian, sehingga mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan. Lembaga keuangan yang berkaitan erat dengan pasar keuangan global mempengaruhi stabilitas perekonomian di seluruh dunia, hingga akhirnya menyebabkan krisis global.
Indonesia sebelumnya pernah mengalami krisis keuangan yang cukup parah pada tahun 1997 – 1999, yang juga berawal karena masalah perbankan. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan efek dari krisis yang terjadi di Asia. Berdasarkan data yang ditulis pada situs sekretariat negara, krisis tersebut disebabkan oleh tiga hal utama, yakni fundamental, market panic dan vulnerabilities, yang akhirnya menghantam Indonesia sampai pada titik nadir, yakni membuat terjadinya perubahan kepemimpinan. Krisis keuangan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 – 1999 di sebabkan oleh, pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, hal ini telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Kedua, banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan Indonesia. Ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintah otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula. Keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memperbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri. Kebijakan – kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan bank sentral dalam mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia dapat dilihat pada Peran Kebijakan Moneter dan Perbankan dalam Mengatasi Krisis Ekonomi di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang berada dalam perekonomian dunia. Posisi inilah yang mengakibatkan Indonesia ikut merasakan krisis global yang terjadi sekarang ini. Bila diperhatikan lebih dalam lagi, sebenarnya Indonesia tidak merasakan dampak yang sangat besar, dibandingkan negara – negara tetangga yang menggantungkan perekonomiannya pada kegiatan ekspor. Dampak yang terasa di Indonesia hanya pada anjloknya harga minyak dunia. Hal ini justru menjadi berita baik bagi masyarakat, karena secara otomatis harga BBM juga akan mengalami penurunan. Dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi karena net-ekspor (ekspor dikurang impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, maka dampaknya relatif kecil dibandingkan dengan negara tetangga yang ketergantungan ekspornya ke AS besar, misalnya Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Walaupun dampak yang terasa tidak terlalu besar, bila krisis keuangan global dan kondisi perbankan global yang tidak sehat dibiarkan terus berlarut akan memberikan dampak buruk bagi Indonesia, karena pembiayaan kegiatan investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun luar negeri) akan terus menciut, penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya daya beli masyarakat turun, yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal untuk mengatasi krisis keuangan di Indonesia akibat dari krisis yang terjadi di AS dan Eropa, Bank Indonesia memiliki peran dalam membuat kebijakan – kebijakan yang dapat menyelesaikan masalah tersebut. Menurut Presiden SBY, dunia usaha (sektor riil) harus tetap bergerak, meskipun ekspansi bisa berkurang. Dengan demikian pajak dan penerimaan negara tetap terjaga serta pengangguran tidak bertambah. Kondisi ini menuntut BI (dengan jajaran perbankan) untuk dapat menjamin kredit dan likuiditas.
Banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah dan bank sentral dalam menangani masalah sektor keuangan akibat pengaruh krisis global. Peran Bank Indonesia disini lebih besar terutama dalam membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menstabilkan kondisi sektor keuangan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat berupa penurunan suku bunga. Penurunan suku bunga diharapkan akan memacu usaha melalui penyaluran kredit. BI juga harus dapat menjaga likuiditas perbankan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kepercayaan nasabah agar tidak terjadi kepanikan akan keringnya likuiditas perbankan. BI juga harus dapat mempertahankan kurs rupiah terhadap US dollar. Walaupun, masih sulit untuk kembali ke level Rp9.000,00, setidaknya rupiah tidak lagi meroket seperti yang terjadi sebelumnya. Memang cukup dilema dalam mempertahankan nilai kurs ini. BI harus menggunakan cadangan devisa hampir 10% guna menstabilkan nilai rupiah. Tindakan lain yang dapat dilakukan BI adalah dengan tindakan preventif seperti pembatasan keluarnya uang ke luar negeri. Misalnya, dengan mebatasi keluarnya uang sebesar 100.000 US$ per tahun, dan memberlakukan NPWP bagi masayarakat yang ke luar negeri.
Kebijakan – kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan bank sentral dalam mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia akibat dari krisis global yang terjadi di AS dan Eropa, dapat dilihat pada Tinjauan Kebijakan Moneter (Ekonomi, Moneter, Perbankan). 


REFERENCES

Buku
Wibowo, Ignatius & Francis Wahono. Neoliberal, Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003.
Weiss dan Hobson, “State Power and Economic Strenght Revisted : What so Special about the Asian Crisis?” Dalam, et. Al. (editor). (2000), Politics and Markets in the Wake of the Asian Crisis ( London : Routledge).


Jurnal
Hira, P. Jhamtani. “Usulan Agenda WTO Pemerintah Baru”, Jurnal Politik Internasional Global, Vol.7 No. 1 November 2004.
Hadi Soesastra. “Indonesia’s Crisis : Implications for The Region”, Asian Pacific Economic Literature, Vol. 14, 2000.


Koran
Tempo, Senin, 13 Oktober 2008
Suara Pembaharuan, Selasa, 9 Mei 2006
Hadi Soesastra, “Indonesia’s Crisis : Implications for The Region”, Asian Pacific Economic Literature, Vol. 14, 2000, hlm.32.
Robert Skidelsky, Selamat Tinggal Revolusi Neoklasik, Koran Tempo, Senin, 13 Oktober 2008.
Dalam Weiss dan Hobson, Op. Cit., hal. 62.
I. Wibowo & Francis Wahono, Neoliberalisme, Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003, hal.3.
Hira, P. Jhamtani, “Usulan Agenda WTO Pemerintah Baru”, Jurnal Politik Internasional Global, Vol.7 No. 1 November 2004.
Dalam S. Arief & I.S. Bey, Indonesia’s International Trade in Agliculture Commodities. Makalah disampaikan dalam International Seminar on the Effects of World Trade Organization on Argicultural Commodities in Indonesia, 2000, Jakarta.
Weiss dan Hobson, “State Power and Economic Strenght Revisted : What so Special about the Asian Crisis?” Dalam, et. Al. (editor). (2000), Politics and Markets in the Wake of the Asian Crisis ( London : Routledge) hal. 68-72.
Suara Pembaharuan, Selasa, 9 Mei 2006
 


 






 


3 comments:

  1. Saya sepakat dengan opini anda. Tetapi yang terpenting bagaimana kita tidak tergantung ekonomi kita terhadap Barat. PM Malaysia Mahatir Mohamad sangat berhasil dalam meningkatkan ekonomi Malaysia. Beliau memperkuat sektor Pertanian dan diikuti Sektor Industri. Padahal ini adalah pemikiran dari Bapak Soeharto, Presiden RI Kedua. Thailand melakukan hal yang sama. Untuk itulah kita berusaha kuatkan sektor pertanian sebagai agro industri, dan lalu diikuti sektor industri bidang lainnya. Salam Joe Parlindungan, Mahawiswa Pasca Sarjana MM UPN Veteran Jakarta.

    ReplyDelete
  2. Halo, saya Ibu Heather Whitte, sebuah perusahaan pinjaman pinjaman pribadi. Kami sedang dan mengkhususkan diri dalam memberikan sebuah akhir pinjaman tahun, pinjaman Natal, pinjaman tahun baru bagi Anda untuk membayar setiap pinjaman koperasi yang Anda sedang sekarang kita memberikan pinjaman kesempatan seumur hidup bagi Anda untuk membayar tagihan Anda dan utang pribadi dan Anda memiliki bisnis. pinjaman yang diberikan kepada individu dan perusahaan pada tingkat bunga yang sangat rendah dari 2%. Jadi hubungi kami hari ini melalui email: (qualityloanfirms@asia.com)
    (heatherwhiteloanltd@gmail.com). Datang dan pengalaman perbedaan dalam layanan kami.

    ReplyDelete
  3. Apakah Anda dalam setiap kesulitan keuangan? Apakah Anda perlu
    pinjaman untuk memulai bisnis atau untuk membayar tagihan Anda? Kami
    memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan bantuan.
    Terapkan Sekarang Via Email: kellywoodloanfirm@gmail.com
    Terima kasih
    Terima kasih dan memberkati Allah
    Ibu Kelly

    ReplyDelete

Followers